3. Masnya penulis juga ya?
Sehabis
acara diskusi buku, Tamu Kita, sastrawan dari luar kota itu, diajak berkumpul
sama teman-teman mudanya. Mereka pindah obrolan ke warung kopi.
Sastrawan kita yang dari Jakarta ini
sangat antusias bercerita, bukan soal sastra, tentu saja. Tema-tema lain jauh
lebih asoy, mulai dari kopi, daging, hingga cara menggaet perempuan. Para
cerpenis dan penyair muda kita yang lain sibuk mendengarkan, mengomentari dan
memperdebatkan.
Lalu muncul seorang anak muda,
menghampiri kawan-kawannya yang ada di sana. Si anak muda itu tidak tahu kalau
Tamu Kita habis diskusi bukunya. Dia
juga gak kenal Tamu Kita ini siapa. Dia kebetulan mampir karena ada kawannya
yang menyuruh datang ke sini. Biasalah sesama penulis muda saling menjenguk,
saling berbagi bualan.
Bersalam-salamanlah
mereka. Tamu Kita dan Anak Muda ini tentu bersalaman pula dan saling
menyebutkan nama. Kebetulan, duduk mereka berdekatan.
“Mardian
Koto,” Anak Muda Kita lalu memperkenalkan diri.
“Dia penyair loh mas,” seloroh salah
satu kawan yang ada di sana, menunjuk anak muda yang baru datang ini untuk
membuka obrolan.
Si Tamu dari Jakarta sambil
berbasa-basi menanyakan aktivitas kawan kita ini. Mendapat kehormatan
menjelaskan hal-hal yang terkait dengan dirinya, berceritalah dia soal
kegiatannya baru-baru ini seputar sastra dan kekaryaan. Tak lama, mereka semua
kembali terlibat obrolan asyik. Kali ini seputar sastra. Mulai dari olok-olok
terhadap penyair A, atau cerpenis D, blok-blokan di dunia sastra, hingga mana
sastrawan yang layak dikubur sebelum mati.
Anak Muda ini kagum juga dengan Tamu
Kita dari Jakarta.
Ketika ada jeda, Anak Muda ini
berbisik pada Tamu Kita. “Mas, Mas Yusi ya?” Tamu Kita mengangguk.
“Mas
Yusi penulis juga?”
4. Nirwan
Penyair
Muda Kita datang terlambat dalam sebuah diskusi kecil di sebuah komunitas
kecil. “Maaf terlambat,” katanya. “Tadi ada pengajian setelah isya..”
Lalu diskusi berlanjut. Tamu kita
datang dari Jakarta. Ia berbicara banyak soal kebudayaan khususnya sastra juga
dunia literasi.
“Nirwan kan?” Penyair Muda Kita
berbisik pada teman di sebelahnya.
Sang teman mengangguk acuh-tak acuh.
Ia tampak suntuk mendengar Nirwan bicara dan sesekali sibuk mencatat.
Penyair
Muda Kita agak gelisah, karena obrolan seru ini akan selesai sebentar lagi. Jam
10 malam Nirwan mesti kembali ke Jakarta.
Selesai
acara, ngobrol sebentar, Nirwan mulai beres-beres, minta diantar langsung ke
stasiun.
Saat
Nirwan pakai sepatu, Penyair Muda kita mendapat celah dan mendekat.
“Gimana
mas menurut sampeyan puisi-puisi saya?”
Nirwan
tertegun sejenak. Mengernyitkan alis. Heran dan penasaran.
“Lah,
saya kan sering kirim ke email sampeyan...”
Kembali
Nirwan tertegun. “Cukup banyak email yang dikirim ke saya.”
“Anu
mas, mas juga sempat mengomentari puisi saya lewat email. Yang mas bilang saya
mesti banyak-banyak membaca itu. ”
Nirwan
makin tertegun.
“Saya
Mardian Koto mas, yang suka kirim-kirim puisi ke sampean tapi belum pernah
dimuat-muat itu.”
Nirwan
nyaris menjadi patung. Tegang, bingung, heran, takjub.
Melihat
Nirwan masih belum bisa mengingat, Penyair Muda Kita kembali menyambar, “Email
sampean masih yang kate minggu et tempo
dot ko itu kan?”
Sejenak
sunyi. Lalu cerahlah wajah Nirwan. Penyair Kita yang jadi tegang.
“Oh, kalau itu Nirwan
Dewanto, mas, redakur sastra Tempo. Duluuu... Nah saya, Nirwan Ahmad Arsuka...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar