Saya dan UIN Sunan
Kalijaga
Bagaimana pun, saya sudah berhasil memakai gelar sarjana
saya di undangan pernikahan, setelah bapak mertua setengah mati memaksakan.
Itulah pertama kali gelar keren yang saya tak terlalu paham maknanya itu
berlaku dalam hidup saya yang payah ini. Adek-adek yang masih sesak nafas dan
kepayahan dengan urusan skripsi, saudara-saudari yang sedang dirundung duka
lara karena ancaman DO, percayalah gelar sarjana sesekali menggoda juga loh
untuk dipajang di momen yang tak terduga. Soal ijazah terpakai atau tidak, perkara
nanti. Gelarnya itu loh, cukup membuat orang tua di kampung senyum-senyum
hambar; antara pasrah dan bahagia.
Saya Memilih UIN
Sunan Kalijaga, Catat Itu
Saya masuk UIN Sunan Kalijaga tahun 2005, sebagai angkatan
kedua kampus UIN yang sebelumnya masih bernama IAIN itu. 2004 saya sudah
wara-wiri di ini kampus, sebelum benar-benar mendaftar dan tentu saja diterima.
Bukannya apa-apa, saya ini orangnya jarang ditolak.
Kesan pertama saya dengan kampus ini demikian intim dan
akrab. Dulu ada tangga demokrasi yang sepanjang siang dan sore dedek-dedek
mahasiswa dan tentu mahasiswi belajar orasi di tangga ini. Saya terpana dan
terpesona. Begitu pula kesejukan masjid dan suara kipas anginnya, ada banyak
orang memilih tidur dan membaca buku di sekitar situ. Di teras masjid ada
banyak diskusi, dan tentu saya memilih tidur di dalam masjid sambil meandang
dedek-dedek berwajah teduh berdiskusi. Seperti sebuah mikjizat, cocok kali saya
dengan kampus ini. Dengan keteguhan iman yang sebesar biji jagung, siapa tahu
lulus dari sini saya bisa jadi ulama. Minimal tukang kotbah. Barangkali ini
juga yang menjadi bahan renung Muhidin M Dahlan ketika memutuskan masuk IAIN,
dulu.
Menyisir kampus dengan status bukan mahasiswa membuat mata
saya berlinang-linang takjub. SPP lumayan murah, kisaran 300 ribu saja. Tidak
sulit mencari anak muda berpenampilan dekil macam saya. Warung makan sederhana
banyak. Lagi pula saya lihat tradisi berbagi rokok lumayan menguntungkan bagi
saya yang masih suka beli batangan. Wara-wiri begini, rasanya saya sudah macam
mahasiswa saja. Tak terlalu beda, sama-sama pakai sandal, sama-sama pakai kaos,
bedanya mahasiswa kalau masuk kelas sudah ada kemeja dekil di tas mereka.
Inilah takdir saya. Menyatu dengan mahasiswa kampus islami
dan sejuk segar ini. Bapak dan ibu di kampung pastilah menyertai dengan doa
yang berlipat-lipat, semoga anaknya akan menjadi semikian saleh. Beberapa kali
kumpul dengan mahasiswa ini, saya sudah diajak diskusi-diskusi yang
kinyis-kinyis. Saya hanya senyum-senyum dan takjub luar biasa bagaimana
filsafat digigit seempuk bakwan jagung. Yang jelas saya akan punya teman di
sini. Benar-benar pas dengan penampilan saya.
Namun begitu, saya tetap akan mencoba mendaftar di kampus
lain yang negeri tapi perkiraan biayanya masih terjangkau. Pilihan saya jatuh
pada UNY. Paling tidak saya bisa ikut tes SPMB (kira-kira namanya dulu begitu,
saya tidak tahu sekarang istilah ini masih dipakai atau sudah dimuseumkan). Di
UNY saya merasa agak canggung. Di UIN masih terparkir ribuan sepeda, di UNY
motor bahkan sudah demikian karatan saking seringnya diparkir. Ceweknya wangi
dan seksi. Saya takut saya tak bisa bergaul dan jadi korban bully macam di STM dulu lagi. Saya tidak
mau dihina-hinakan karena penampilan. Tapi sekedar mencoba kan tak apa. Saya
memilih sejarah dan sastra. Dan sebagaimana takdir hidup saya yang jarang
ditolak itu, nama saya terdaftar sebagai Calon Mahasiswa Baru UNY di pilihan
pertama: sejarah. Nama saya tertulis di koran.
Ondeh mande,
bangsa apa pula ini sejarah? Di luar itu semua, sumpah mati, saya keder dengan
anak-anak UNY yang rapi, segar, ranum dan terkesan berkelas itu. Apalagi kalau
sudah duduk di kopma. Saya kan kuper-kuper gimana gitu, tidak tahu di situ ada
ekspresi yang telah menelurkan orang-orang cerdas, dan tangkas namun santun
macam Muhidin M Dahlan di masanya. Kakak kelas saya pastilah Zen RS yang dingin
dan seram tapi imut itu. Saya juga belum tahu di situ ada Sarkem yang dihuni
hantu (mantan) pemabuk bernama An Ismanto. Tempat di mana kita bisa begadang,
muntah di sembarang tempat, guyup macam di UIN-lah. Tapi sudahlah, Tuhan tak
ingin membuat saya punya pengalaman lebih dramatis.
Bersamaan dengan itu, saya juga mendaftar di kampus UIN
Sunan Kalijaga. Berbarengan dengan itu
pula kampus ini sedang mempercantik diri dengan dibangunnya gedung-gedung baru,
dihancurkannya gedung-gedung lama. Pilihan pertama jatuh di Sosiologi sebagai
jurusan dan fakultas baru. Betapa gagahnya jadi angkatan pertama. Saya memilih
sosiologi karena ketika SMA saya pernah bertengkar dengan guru sosiologi yang
sekaligus pembina Osis Kami. Itu saja, alasan lain tidak ada.
Di bagian tertentu hidup ini berjalan dengan mudah. Saya sudah
diterima di sejarah UNY dan Sosiologi UIN. Tanpa berpikir dua kali jelas saya
memilih UIN. Pertama soal biayanya. Kedua ya itu tadi, saya akan langsung
tenggelam dengan kesederhanaan orang-orang di kampus ini. Rasanya saya sudah
punya banyak teman saja. Saya pun diperlakukan layaknya mereka, dengan sapaan
khas mereka. Berjalan ke sini disapa “Gimana bung? Lagi nulis apa?” berjalan ke
situ disalami “Dimuat dimana sekarang, Pak?” wah, benar-benar gagah itu sapaan,
Pak dan Bung. Omongannya soal tulis-menulis gitu. Dan cara salamannya itu loh,
saya ribet sekali mengikuti salam ala mahasiswa ini.
Saya dan Organisasi
Saya pernah coba-coba ikut organisasi. Jangan bilang-bilang
Muhidin M Dahlan ya kalau saya juga pernah mendaftar sebagai bagian dari
pasukan sang hijau-hitam. Entah yang A entah yang B. Saya juga ikut sekali-dua
Mapala. Sekali-dua datang ke pertemuan, saya mundur. Saya pikir-pikir datang ke
diskusi ini bagi saya bukan urusan kepala, tapi urusan perut. Mumpung lagi
belum makan dan tidak ada rokok, lumayan nih bisa pinjam uang sama si anu dan
si itu. Saya tak ingin merusak pikiran
orang-orang yang ingin mengabdi dan tulus pada organisasi dan negeri ini. Saya
takut masa depan bangsa terhambat gara-gara urusan perut saya semata. Di luar
itu semua saya orangnya malas dan pemalu.
Dari seluruh kemudahan yang sebelumnya saya rasakan, kami
dibenturkan oleh soal-soal lain yang agak rumit. Kampus jauuuhhh di dekat
bandara. Dua fakultas sementara di tempatkan di sana karena pembangunan kampus
yang gila-gilaan tadi. Hilanglah harapan saya berkumpul dengan orang-orang
gondrong bercelana robek yang berorasi di tangga masjid. Punahlah keinginan
tiduran di masjid kampus sambil memandang gadis berkerudung yang merunduk malu.
Masjid mulai digusur, tangga demokrasi diratakan. Aktivitas
mahasiswa mulai dikandangkan dalam ruang yang disebut Student Center. Beberapa mengikuti dengan patuh, yang laing
memindahkan diskusi mereka di Kopma dan warung kopi. Dan saya suka mencuri
dengar orbrolan di sana jika kebetulan mampu membeli segelas kopi d iluar makan
dan rokok. Dan keramaian itu biasanya terjadi di siang hari, sementara saya
mesti mendayung sepeda dari Sewon, di sekitar ISI, jalan Parangtritis sana, ke
Bandara Adisucipto, di zaman mobil dan motor di kota Yogya barulah sekedar
mitos belaka.
Saya seringkalibimbang, galau istilah sekarang, ke kampus
nun di Adisucipto sana atau duduk di Kopma UIN, atau Blandongan sambil mencuri
dengar percakapan keren sekaligus melihat dedek-dedek berkerudung yang tampak
pemalu tapi lincah memainkan gelas itu? Saya seringkali takluk oleh keinginan
kedua. Mencuri dengar pembicaraan sambil berkhayal punya pacar mahasiswi yang
aktif di organisasi, tapi kalau berduaan suka tertunduk dan malu-malu. Betapa
tergetarnya hati saya akan hasrat apel ke kos pacar, hanya boleh duduk di teras
rumah, pegang-pegang tangan dengan muka bersemu.
Saya memang ketinggalan zaman. seringkali keinginan saya itu
hanyalah hasrat tulus dari seorang yang hatinya sedang diluruskan Tuhan. Susah
bertemu cewek yang begitu, Bung. Kalau pun ada, mereka oleh agama dan
organisasi, dilarang pacaran. Rasanya aku belum berpikir mampu menikah muda.
Bisa jadi akses saya saja yang terbatas, cewek-cewek demikian begitu banyak,
tapi oleh Tuhan dilarang dipertemukan dengan saya. Bisa saja.
Sayuri Si Legenda
Hidup
Di tengah-tengah pergaulan inilah saya mulai mengenal Sayuri,
tokoh legendaris yang hidup di UIN Sunan Kalijaga. Hampir semua teman-teman
dari Madura tahu sepenggal kisah dari manusia super abadi ini. Nyatanya 85%
teman-teman saya ya mahasiswa dari Madura, otomatis dong Sayuri menjadi
santapan sehari-hari saya. Saya dibuat terpingkal dengan kecerdasan akut tokoh
yang saya kira sekedar dongeng ini. Hari pertama dia di Yogya saja sudah
membuatnya demikian super. Ketika makan malam di sebuah warung langsung ditanya
sama pedagang. “Mase sayuri nopo?” Lha, pikir Sayuri, ibu ini langsung tahu
nama saya. Sejak malam itu Sayuri hidup dalam mitos.
Betapa tidak. Hidupnya lurus dan lempeng. Berpuluh-puluh
kisah seputar aktivitas dia sebagai takmir masjid. Dengan gampang ketika
menggarap skripsi, doi sudah tinggal di rumah pak dosen dengan beragam kelucuan
baru. Belum lagi bagaimana ia meladeni huru-hara aktivis kampus. Bagaimana
tokoh Sayuri ini hidup dan seluruh kelucuan-kelucuan di masa mahasiswanya, Bos
Edy Alkelis, atau Achmad Muchlish Amrin, bahkan Mahwi Air Tawarlah yang jauh
lebih pantas menceritakan ketimbang saya.
Sebagai ilustrasi saja saja bagaimana menjengkelkannya dunia
ini tanpa Sayuri adalah: setiap kali ada adzan di masjid selalu terdengar suara
kresek-kresek tak nyaman. Mirip pedagang obat yang seringkali meniup mic.
Setelah diamati, ternyata Sayuri adzan sambil merokok! Atau Sayuri yang
tertidur saat jadwal adzan datang, begitu bangun tanpa perlu melihat jam doi langsung
adzan, padahal oarng baru selesai shalat zhuhur.
Sayuri demikian percaya diri. Konon, setelah menelusuri
Peran Onta dalam Dakwa di masa Nabi, doi lulus dari UIN dan pindah ke Jakarta,
tinggal di kantor PBNU lalu berternak burung di lantai atasnya. Kabarnya doi
juga mulai akrab dengan politisi dan perlu belajar mobil. “Pak minta uang buat
belajar mobil.” “Lha, kemarin sampean sudah dikasih uang untuk belajar nyetir kan?”,
“Boo, yang itu belajar majunya pak, sekarang ini belajar otret.”
Sayuri bukan jatah saya, cukuplah segitu saja. Lagi pula,
kabarnya, hidupnya sudah gilang-gemilang.
Dengan Demikian Saya pun
Sarjana
Pada akhirnya, setelah waktu berjalan demikian cepat saat
dikenang, saya menjalani hidup sebagaimana mahasiswa lainnya. Terlambat bangun,
panik dengan tugas kuliah, masuk lewat gerbang belakang, dan menjadi demikian
kritis dan nyinyir mengenai soal-soal sederhana.
Kebesaran hati saya sebelum jadi mahasiswa demikian sia-sia
begitu saya jadi bagian darinya. Ibarat naksir cewek, enak ngejarnya, udah
dapet ya bosan. Dalam dunia pergerakan nama saya tak ada, dalam ruang-ruang
diskusi yang tegang dan mendebarkan, saya alpa. Benar, bahwa saya tidak
sendirian dalam kesialan sebagai mahasiswa ini, tapi saya punya hasrat untuk mau
seperti itu. Apa daya, saya disibukkan oleh urusan perut dan perkara gagah yang
tak membuat saya lantas jadi apa-apa: menulis.
Nyaris tidak ada yang bisa saya banggakan selama di kampus.
Tak pernah menggebrak meja, tak pernah diskusi alot dan ruwet dengan dosen,
berlari di jalanan menghindari pentungan, berkumpul dan bernyanyi membawa
umbul-umbul organisasi, pegang microfon sambil beroarsi, bahkan memecahkan kaca
saja juga tak pernah. Sensasi sebagai mahasiswa paling saya nikmati sebagai strata
yang alamiah; rambut gondrong, merasa perlu mengetahui peristiwa-peristiwa
penting dan mengomentarinya sambil menggigit pisang goreng, pinjam-meminjam
uang, titip-titip absen, dan tentu saja masalah administrasi yang menyebalkan
hingga urusan nilai yang amburadul.
Dalam kondisi beginilah seringkali saya merasa menjadi
mahasiswa.
Dan itulah, paling tidak saya bisa mencantumkan gelar
sarjana di undangan nikah. Dalam urusan ini saya lebih mendingan deh. Jadi
sekali lahgi dedek-dedek yang panik oleh skripsi dan ancaman DO, hambok
diselesaikan dulu itu kerja kalian. Waspadalah, waspadalah...
1 komentar:
saya menaruh hormat untuk para pecinta sastra yang berhasil mengkhatamkan gelar sarjananya... mantrab massss
Posting Komentar