29 Nov 2013

#Kamisan 10: Hitam-Warna


Apa yang akan kutulis mengenai semut? Soal kontrakan yang sekarang makin banyak semutnya karena jarang dibersihkan? Saya kira selesai begitu saja. Kontrakan ini sering waktu kotor ketimbang rapi. Soal lagu masa kecil yang liriknya, "Semut-semut kecil, saya mau tanya, apakah kamu di dalam tanah punya mama-papa.."

Semut-semut itu sudah pindah ke ikan bakar, dan semua yang bisa dimakan di kontrakan ini, Melisa. Bahkan ke sisa makanan Jhumpa. Barangkali saja semut-semut di sini termasuk kelompok semut-semut kere. Tapi lagu Melisa itu bagus. Saya jadi ingat waktu sunatan, Pak Gaek, bapaknya Abang (duh, saya malas memanggilnya abang) Mugil, sepupuku, yang memutar lagu itu bergantian dengan kaset Itje Trisnawati "Duh Engkang" dengan lagu dangdutnya Ine Shintia "Cinta Sayur Asem" yang asem itu. Liriknya gini kan, "Cari jodoh jangan bingung-bingung/ Cari saja seperti saya/Bisa masak dan cuci pakaian/ Soal dandan tak ketinggalan.// Coba bolehlah di coba/Mencoba buah durian/Dicium, di makan lalu di bayar..."


Kau bayangkanlah empat hari terbaring selama sunatan, tiga kaset itu diputar nyaris berulang setiap pagi hingga petang.

Apa saya mesti cerita tentang Meggy Z yang terlihat sewot dengan liriknya, "Jangankan diriku, semutkan marah bila terlalu sakit begini.." Maaf, saya agak lupa momen terbaik apa yang saya lewatkan dengan lagu tersebut.

Tapi saya mesti menulis semut. Sesuatu mengenai, menyerupai, seperti, seolah, bagaikan, umpana semut. Tak ada pilihan lain. bahkan ketika tulisan ini selesai diposting pun saya sudah terlambat sejam-dua jam, mungkin.
 
Apa saya harus cerita tentang Idal, teman masa kecil yang bandel setengah mati itu, yang sering kami keroyok itu? Ah Idal yang malang, ia diikat kakaknya di pohon yang ada semutnya. Ia meraung-raung berjam-jam karena dikerubungi semut hitam. Tapi Idal nakal sih, kalau main kertas gambar dan pas dia kalah dia tidak mau berhenti, mengancam lawan, dan itu ciri pejudi yang gagal. Tak bisa mengontrol emosi. Lawan sudah tahu kelemahannya. Syukurlah ia tak jadi pejudi besar sampai ia besar sekarang dan sudah punya dua mantan istri. Tapi Idal lebih aman ketimbang Imul yang juga pernah diikat ayek-nya di pohon jambak (jambu bool) depan rumahnya. Tidak lama, tapi tititnya bengkak dan merah setelah itu. Merah, bengkak dan gatal. Imul juga meraung-raung. Saya kurang tahu rasanya titit digigit semut merah. Kemasukan lintah sih pernah.

Astaga, saya harus menulis soal semut, atau yang menyerupainya.
*** 

Setelah saya bisa naik sepeda di kelas IV SD, dan tentu mengalami tragedi yang sama dengan anak-anak lelaki lain yang menahan perih di selangkang ketika beradu dengan batang sepeda. Itu ngilu, dan jangan ditiru. Tapi saya sudah bisa bersepeda, dan tak akan ada ngilu telur lagi. 

Saat itu saya dan orang tua tinggal di ladang, di kampung sebelah, dan saya bersepeda ke kampung ayah dan ibu saya. Harus saya akui, mengarang "Berlibur ke Rumah Nenek" tak begitu berkesan bagiku. Keluarga ibuk dan bapakku bertetangga. Jarangnya hanya 7-8 rumah saja. Sekelompok di utara rumah keluarga bapakku, beberapa rumah ke selatan rumah keluarga besar ibuku. Dan soal kakek-nenek saya hanya berjumpa nenek dari bapak saja. Ke sanalah saya menuju, ke situlah cerita ini bermuara.
***

Listrik belum menyala di kampung kami. Sebagian tiang-tiang sudah dipancangkan. Ini masa-masa akhir Repelita V, kami masih menunggu Repelita VI untuk melihat listrik menyala di kampung kami dan selamat tinggal untuk keriangan masa kanak yang membuat kami berkeringat sepanjang malam. Soal listrik dan bagaimana kami berubah jadi santun di depan televisi akan diceritakan lain kali.

Saya menginap di rumah adiknya bapak tiap malam minggu dengan alasan bisa menonton televisi hitam-putih yang dinyalakan dengan aki di rumah mak gaek, kakaknya bapak. Dulu saya hafal, sungguh mati, rangkaian acara TVRI mulai dari jam 18,000 hingga Film Akhir Pekan setelah Berita Terakhir selesai. Saya ingin duduk manis menonton laporan dari daerah sampai Berita Nasional selesai dan saatnya mendengar informasi acara selanjutnya. Bagian ini tivi biasanya menyala dan kami mendekat ke tabung yang kadang-kadang dikasih penutup biru itu. Kami akan mendengar "rangkaian acara sepanjang malam hari ini" yang diikuti teks yang sering terlambat di samping pembawa acara yang santun-kaku. Kami berteriak jika saja tidak mendengar "Laporan khusus" atau acara menjengkelkan yang lain "Pertandingan bulu tangkis", lalu menahan napas lagi untuk mendengarkan film akhir pekan yang akan diputar. "Wah Ratno Timoer.." "Wah ini Rano Karno..." "Rhoma.. Rhoma.." jerit gadis-gadis remaja, teman almarhum kakak sepupu saya.

Malam ketika cerita ini saya tuliskan adalah hari sial itu. Ada laporan khusus dan bulu tangkis. Tivi hitam-putih itu akan dimatikan. Orang-orang (tua-muda) hanya bisa duduk-duduk berkerumunan di depan rumah. Tv hitam-putih yang bersemut itu adalah tontonan warga satu-satunya di kampung kami. Lama kemudian, tetangga kami yang lain membeli tv. Itu masa menyenangkan, ketika aki di rumah Mak Gaek lagi dicas, kami akan berbondong-bondong menonton film india di TPI ke rumah tetangga. Saya seringkali menikutinyan ketika tanggal merah. Sialnya saya, tanggal merah selalu ada acara-acara khusus sehingga gagallah saya melihat Amitha Bachan naik kuda membalas dendam pada mertuanya.

Di mana semut harus saya masukkan dalam cerita ini? Yang jelas, malam itu tivi bersemut di rumah Mak Gaek tak menyala. Aki "disimpan" untuk hari minggu. Jika malam minggu tak ada Aneka Ria Safari, hari minggu pagi masih ada Album Minggu. Sabarlah.

Saya bersama kakak sepupu Isam, dan Uman panik juga. Mau menonton video ke kampung tetangga sudah terlalu malam. Film selesai jam 9. Malam itu hujan baru selesai. Aspal tipis-berlubang di jalan kampung kami penuh air. Kami bertiga jalan ke utara, ke kampung lain, sekedar menunggu "Pertandingan Bulu Tangkis" selesai. Malam minggu kami boleh begadang. Rhoma bilang; begadang boleh kalau ada perlunya. kami rasa menonton Film Akhir Pekan adalah sebuah kepatutan. Tinggal menghitung jumlah berita terakhir saja. Isu yang beredar di antara kawan-kawan, Berita terakhir TVRI itu hanya berisi 7 berita. Maka sepanjang setengah jam kurang itu kami menghitung berapa jumlah berita yang ada. Pasti lebih dari 7. Entah bagaimana, sabtu depan kami akan menghitung lagi, sebagai terapi menunggu acara idola di kampung kami di mulai: Film Akhir Pekan.

Bertiga kami berjalan ke utara yang lengang sehabis masjid. Kumpulan pohon sagu dan jembatan kecil. Itu sarang hantu, saudara-saudariku. cerita yang beredar seputar itu tidak main-main. Ada yang sepedanya ditumpangi seseorang yang hidungnya berkapas, ada sepeda yang tiba-tiba tidak bisa berjalan sama sekali, atau suara dan wujud yang tampak dari rerimbun pohon sagu di batas kampung itu: Hantu Kapan. Maksudnya: Hantu yang memakai seragam Kain Kafan. Konon dia akan meloncat dan berbisik di telingamu; "Bukak kabek,buka kabek... (Buka ikatan, buka ikatan)" Itu horror saudara sebangsa dans etanah air. Itu seram. Maka jika kau malam-malam ingin lewat di sana bikalah sandalmu, pegang, karena sewaktu-waktu 1 orang di antara rombongan akan mulai berlari dan yang lain akan menyusul. Sekalian di saat itu kau bisa memperbaiki hafalan Ayat Kursi. Sebab akan selalu ada satu dua mulut teman-teman yang membaca ayat kursi keras-keras sambil berlari.

Kita tunda soal betapa seramnya rimbunan pohon sagu yang kini jadi kampung dan telah berdiri pula SMK di belakangnya itu. Itu masa kini dan cerita ini soal masalalu. Dan, ehem, semut.

Bertiga kami, layaknya cerita di atas tentu saja berlari ke arah utara setelah melewati masjid. Gelap nian. Masa itu kendaraan belumlah sepadat sekarang, mustahil menunggu cahaya mobil dari jauh menyinarimu, dan itu seringkali kami lakukan jika berjalan di tempat gelap. Tapi ada bahayanya loh kalau kau menunggu cahaya mobil dari jauh; 1. bisa jadi di hadapanmu Hantu Kapan terlihat dengan jelas, 2. Bisa jadi itu bukan cahaya sungguhan, tapi cahaya yang menyesatkan. Hantu blau, jilawik dan segala penghuni alam gaib bisa jadi sedang berkomplot menggoda bocah-bocah malang ini.

Demikianlah kami selamat menyeberangi kampung dan sampai di kampung lain. Itu keberhasilan yang luar biasa juga. Sebaiknya kami nikmati dengan berjalan-jalan di kampung utara. di sana banyak kedai kopi, tempat bapak-bapak main domino, tempat orang berjualan pisang goreng yang disajikan panas-panas. Cahaya kedai dengan lampu strongkingnya membuat suasana makin gemerlap.

Kami berjalan dan terus berjalan. Kampung sepi. Uman kakak sepupuku bilang, "Anu, Pak Inang Sekarang katanya punya disel untuk menyalakan listrik di rumahnya." Itu berita yang wow sekali. Listrik, tetangga kami punya listrik sendiri di rumahnya. Di kampung kami kalau pun sesekali ada listrik itu dari diesel yang dibagi-bagi ke satu kampung, dan bertahan tak lebih dari 4 bulan. Sekarang Inang punya diesel sendiri? Apa yang tidak ajaib di zaman itu?

Benarlah kiranya itu cerita. Uman tak sedang mengarang-ngarang cerita. Dari jauh kami sudah melihat kilau cahaya pecah di jalan, di antara rumah-rumah yang suram-temaram. Kami bergegas ke sana. Untuk mempercepat cerita, malam itu saudara, kami tak hanya melihat satu keajaiban, tetapi dua. Pertama soal listrik di rumah Inang yang membikin rumahnya terang sampai ke langit, Yang kedua kami mendengar suara tivi dari dalam rumahnya. Wah, insting penonton kami tergoda. Inang juga punya tivi sekarang. hebat betul. Setengah tergoda kami merapat ke terasnya. Jangan-jangan Bulu tangkis sudah selesai nih. Meski kami tak terlalu berminat dengan pertandingan itu, tapi siapa tahu ada Aneka Ria Safari malam ini.

Sumpah mati saudara-saudari kami terloncat kaget begitu mengintip ke dalam rumah Inang. Sumpah, kalau kami jantungan bisa-bisa saat itu tiga bocah ini sudah pingsan di tempat. Tivinya menyala, pertandingan bulu tangkis masih berjalan, tapi ada yang membuat kami nyaris pingsan: lapangan itu berwarna hijau saudaraku, lapangan bulu tangkis dalam televisi itu berwarna hijau. 

Kau tahu artinya? Ya, sesuatu yang baru telah masuk di kampung kami. Tv hitam-putih kami yang bersemut itu selama ini adalah penipu. sekarang kami melihat warna. Betapa menakjubkan pertandingan bulu tangkis malam itu yang kami tonton dari balik beranda.

Malam ini kampung kami akan heboh; Inang dan TV berwarna miliknya yang tak bersemut. Kau tahu siapa yang pertama membawa cerita itu ke kampung? Yup, kami bertiga, dengan dada berdegup melewati hamparan pepohonan sagu di kanan-kiri jalan. kami berjalan tanpa rasa takut, tapi degup mencengangkan, degup takjub yang sebentar lagi akan berputar dari mulut ke mulut.

2013
 

Tidak ada komentar: